tak mungkin siapa nama hanya ungkapan bersapa di dalam cermin itu hanya kias wajah yang memandang semula kepada dirinya segalanya kembali di masa lalu menyusuri gelombang waktu damai dan lara kalbu memahami kemelut bersimpul membenih di taman hidup datang kepada dirinya gelisah dan gundah membahasakan percakapan lumrah menzahir di batin bersatu di puncak zikir hanya persapaan, tak ada apa-apa pandangan yang bersalam membawa ke hari depan merakam wajah memperibadi segala masa lalu yang saling menyatu ini wajah yang fana berkumpul kehidupan kekal yang terhenti menjadi jendela menyeberangkan rindu tanpa batas waktu.
[Menginai Badai, 2004]